Minggu, 25 Agustus 2013

Gara-gara Kaos Cubuklu

Museum Leffter

Ini adalah hari kedelapan keluargaku berlibur di Istanbul. Setelah kemarin seharian kami habiskan di sebuah pulau yang bernama Prince Island atau Buyukada, maka hari ini kami sepakat akan pergi mengunjungi sebuah tempat  wisata yang berupa bukit kecil di pinggiran kota Istanbul. Pukul delapan pagi , kami sudah bersiap-siap untuk sarapan di sebelah lobi hotel. Kami sengaja mengenakan baju santai, celana jeans dan kaos, untuk mengurangi rasa panas di perjalanan.

Suamiku hari ini khusus mengenakan kaos yang kemarin dibelinya dari sebuah museum di pulau Buyukada. Museum ini dibangun untuk menghormati seorang pemain sepak bola Turki yang banyak berjasa terhadap tim nasional Turki, yang bernama LEFTER. Nama dan nomor punggung pemain (legendaris) tersebut tercetak di bagian belakang kaos. Sementara foto diri Lefter dengan pakaian lengkap sepak bolanya ada di bagian depan. Tentu saja juga ada beberapa kalimat yang tertulis di atas gambar dalam bahasa Turki, “Cubuklu Bize Emanet” yang sejujurnya kami juga tidak tahu artinya.

Inilah kaos Cubuklu itu


Hari sangat cerah, setelah dua hari pertama kedatangan kami di Istanbul terus turun hujan. Baru beberapa meter berjalan keluar dari hotel, kami berpapasan dengan seseorang yang mengacungkan jempol tangannya sambil berucap “Lefter”.  Kami hanya membalasnya dengan tersenyum dan menduga bahwa dia juga mengenal pemain bola ini. Bukan hanya itu, sepanjang perjalanan kami menuju ke tempat tujuan, beberapa kali mendengar orang menggumamkan nama Lefter atau Cubuklu ketika berpapasan dengan kami. Atau orang-orang yang hanya sekedar menatap dan tersenyum saat melihat kaos yang dikenakan suamiku.

Awalnya, dalam hati kami merasa bangga karena suami mengenakan kaos yang bergambar orang yang terkenal di Negara ini. Mungkin Lefter ini seperti Bambang Pamungkas kalau di Indonesia yang hampir semua orang mengenalnya. Demikian pikirku melihat respon dari orang-orang yang melihat kaos tersebut. Hampir satu hari penuh kami merasakan banyak diperhatikan oleh orang-orang berkat kaos ini. Namun kami mulai ragu  ketika sudah hampir senja kami berada ditengah perjalan menuju hotel. Seorang tukang semir sepatu menyapa kami dan mengatakan agar kami tidak melewati sebuah toko diujung jalan. Orang itu tidak menjelaskan alasannya, tetapi dia bilang ada hubungannya dengan kaos yang dipakai suamiku. Duh! Perasaanku mulai tidak enak. Tapi kami tetap melangkah karena ini adalah satu-satunya jalan menuju hotel yang kami tahu.

"Berdialog" dengan (patung) Leffter


Sesampai di sebuah taman dekat hotel, anak kami melihat kedai burger dan langsung minta dibelikan. Setelah mengantri, akhirnya tibalah giliran kami untuk memesan. Tapi aku merasa tidak nyaman dengan penjual yang melayani kami, karena sikapnya yang sangat tidak ramah. Setelah memberi uang, kami langsung berbalik sambil mencari anak kami yang sudah mencari tempat duduk untuk menyantap burger. Namun baru selangkah kami bergerak, penjual burger itu memanggil suamiku dan spontan kami berbalik. Belum sempat kami bertanya, si pedagang sudah lebih dulu berkata dengan nada tinggi.

“ Dimana kamu membeli kaos itu?” tanyanya.

“Di museum di Buyukada,” jawab suamiku ringan.

“Lalu, kamu tahu tidak arti tulisan itu?” kali ini suamiku hanya angkat tangan saja.

“Kalau tidak tahu, kenapa kamu memakainya?” suaranya sudah benar–benar tidak bersahabat lagi.

Kami hanya bilang maaf lalu cepat-cepat kabur dari situ karena situasi sudah tidak aman, pikirku. Apalagi kami merasa ada seseorang yang terus mengikuti langkah kami sejak meninggalkan kedai burger tersebut. Suamiku sudah menaikkan tas punggungnya untuk menutupi tulisan Lefter, sementara tulisan yang didepan ditutupinya dengan tas kamera. Anak kami yang semula ingin makan burger di taman, langsung aku tarik untuk cepat-cepat pergi dari situ. Beberapa pasang mata dari pengunjung taman juga sudah mulai mengawasi kami. Pasti ada yang tidak beres, tapi kami tidak tahu apa itu.

Orang asing yang semula mengikuti kami, akhirnya bisa juga mengejar dan jalan disebelah suamiku. Jantungku semakin dag dig dug! Rupanya dia melihat kepanikan dan ketakutanku hingga akhirnya memberiku senyuman. Sambil berjalan dia menjelaskan ketidakberesan yang kami rasakan. Menurut penjelasannya, di Istanbul terdapat dua klub sepak bola yang merupakan musuh bebuyutan. Salah satu  club itu adalah “Cubuklu”. Ya Tuhan! Bukankah itu tulisan yang ada di kaos suamiku?  Kalau tadi siang kami merasa banyak yang tersenyum kepada kami, itu tidak lain karena tempat wisata yang kami kunjungi tadi adalah merupakan daerah pendukung Cubuklu. Sementara disini? Disinilah markas seterunya. Gawat!

Tanpa pikir panjang lagi, kami langsung mengambil langkah seribu meninggalkan taman setelah mengucapkan terima kasih kepada orang baik tersebut ( mungkin dia juga pendukung Cubuklu ). Kami terus berdoa semoga tidak bertemu lagi dengan pendukung lawan Cubuklu. Baru setelah sampai di kamar hotel kami bisa bernafas lega dan saling melepaskan tawa, apalagi ketika melihat suami membuka kaos dan melemparnya ke pojok kamar.  Ha….ha….ha…..kami jadi ingat tingkah polah pendukung sepak bola di tanah air terutama ketika kami masih tinggal di Surabaya dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar