Rabu, 24 Juni 2015

Jarak (Tidak?) Jadi Masalah



Awal merantau ke luar negeri dulu, banyak sahabat dan kerabat yang menyemangati keraguanku. Ya, aku memang sempat merasakan keraguan ketika akan meninggalkan tanah air. Keraguanku lebih karena rasa berat   harus meninggalkan orang-orang tercinta, terutama ayah dan kedua mertuaku.

Tetapi karena lebih banyak yang mengatakan bahwa "jarak bukanlah suatu masalah" untuk memupus keraguanku, maka melangkahlah kaki ini di tanah perantuan, Dubai. Memang, jarak Dubai-Denpasar hanyalah setengah jika dibandingkan mereka yang terdampar di daratan Eropa. Tidak sampai satu hari jarak itu bisa ditempuh, atau sekitar 9 sampai 10 jam perjalanan udara.

Saat pulang kampung untuk mengisi liburan sekaligus melepas rindu, waktu tempuh tersebut memang tidaklah terasa. Aku masih merasakan kebenaran pendapat sahabat dan saudaraku yang dulu menyemangatiku. Bahkan sampai ketika  aku terakhir pulang sepuluh bulan yang lalu. Jarak itu masih tidak menjadi masalah.

Namun, pendapat penuh semangat tersebut tidak lagi ada benarnya ketika tiga minggu yang lalu aku mendapat kabar duka dari tanah air. Ibu mertua, satu-satunya orang yang 'agak' keberatan aku ikut merantau, berpulang kepadaNya. Saat itu aku baru yakin, bahwa bagaimanapun juga  jarak tetaplah jarak dan tetap menjadi satu kendala.

Ibu menghembuskan nafas terakhir sore hari waktu Bali. Meskipun  itu artinya di Dubai masih siang hari, tetapi tetap saja baru ada penerbangan ke Bali besok paginya. Jika aku memaksa untuk pulang dengan penerbangan pertama besok pagi, maka aku akan sampai di rumah tengah malam. Begitu juga seandainya aku berangkat malam itu dengan penerbangan lain, waktunya akan jauh lebih lama karena ada transit tiga hingga enam jam. Lagi pula bukanlah hal mudah untuk mendapatkan tiket lima jam sebelum keberangkatan.  

Sementara  besok siangnya jasad ibu sudah dikebumikan. Itu artinya aku dan keluargaku tetap tidak dapat bertemu ibu untuk terakhir kali. Menangis? Pasti! Sedih? Lebih dari itu! Rasanya seperti ingin menghentikan waktu atau melipat jarak antara Denpasar-Dubai. 

Selamat jalan ibu, semoga mendapat tempat yang terbaik di sisiNya. Kami sayang ibu…

Rabu, 29 April 2015

Bangga Indonesia


Empat tahun yang lalu ketika aku mengajak pindah ke Dubai, anak pertamaku, Sasiva, sudah masuk di kelas 8 ketika pertama sekolah di Dubai. Setidaknya selama dari kelas 1 hingga kelas 7 sudah banyak pelajaran tentang Indonesia yang didapatnya di sekolah di Indonesia. Ia sudah tahu betapa kaya dan indahnya tanah airnya. Jadi, tidak heran jika ia sangat bangga menceritakan Indonesia, apalagi Bali kepada teman-temannya

Beda dengan adiknya, Sattvika, yang hanya mengenyam dua bulan kelas satu di sekolah dasar  ketika kami pindah. Empat hari di Dubai, ia merayakan ulang tahunnya yang ke-7. Praktis, belum banyak pengetahuannya tentang Indonesia yang tertanam di ingatannya.

Namun begitu, aku tidak  pernah putus asa untuk menceritakan tentang Indonesia kepadanya. Bahkan, sekarang ia sudah hafal dengan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Begitu juga dengan beberapa sejarah, pahlawan dan tentu saja kekayaan dan kehebatan tanah air tercinta.

Ini adalah salah satu caraku untuk bisa membangkitkan rasa bangga menjadi anak Indonesia, bangga telah lahir di Indonesia dan bangga menjadi Indonesia. Meskipun keduanya sangat hafal dengan lagu kebangsaan UAE, negara yang kami tinggali saat ini, aku tetap ingin mereka sadar bahwa mereka adalah anak Indonesia.

Ketika ada waktu luang, aku selalu mengajak mereka untuk belajar tentang Indonesia. Mengenalkannya pada beberapa budaya dan indahnya alam Indonesia, selain Bali tanah leluhurnya. Dan, ternyata semua tidak sia-sia.

Suatu siang ketika pulang sekolah, Sattvika yang sekarang sudah duduk di bangku kelas 4 bercerita dengan berseri-seri. Ia mengatakan bahwa ia tadi di sekolah telah memenangkan lomba debat di kelasnya. Dan, tema debat tersebut adalah tentang keunggulan negara masing-masing.

Aku berusaha menahan gemuruh di dalam dadaku selama ia menceritakan kembali jalannya debat tadi. Sesuatu yang sangat mengharukan ketika ia dengan lancar bisa menyebutkan jumlah pulau dan jumlah bahasa yang dimiliki Indonesia. Bahkan dengan tegas ia juga mampu membandingkan panjangnya wilayahnya Indonesia yang sama dengan jarak antara Iran hingga London.

Sungguh di luar dugaanku, ternyata apa yang selama ini aku ceritakan kepadanya benar-benar merasuk kedalam otaknya. Ia sangat jelas menyebutkan tentang tambang emas, tentang kekayaan laut Indonesia dibandingkan dengan negara lainnya.

Akhirnya, dengan mata berkaca-kaca aku mengucapkan terima kasih kepada Sattvika karena sudah mendengarkan ceritaku selama ini. Juga karena ia begitu antusias mempertahankan kehebatan negaranya di depan teman-temannya.

Selalu banggalah menjadi anak Indonesia, Nak…

Senin, 09 Maret 2015

Vegetarian (?)



Sejak memutuskan untuk hidup berumah tangga, aku dan suamiku sepakat untuk mengurangi mengonsumsi daging merah. Baru satu tahun kemudian, kami benar-benar bisa melepaskan konsumsi daging yang berasal dari hewan berkaki empat ini.

Bukan untuk gaya-gayaan. Bukan pula karena kami mengikuti aliran tertentu. Semua kami lakukan hanya karena kami ingin hidup lebih sehat. Tidak lebih. Bahkan, awalnya kami juga tidak tahu jika ternyata banyak manfaat lain dari pola makan ini. Semua itu kami anggap sebagai bonus.

Sebenarnya aku tidak pernah menyebut keluargaku sebagai vegetarian. Kenapa? Karena, bagiku kelompok vegetarian adalah mereka yang sama sekali tidak boleh makan daging, meskipun ada beberapa golongan dalam kelompok ini. Ada golongan yang tidak makan daging dari hewan berkaki empat. Golongan lain tidak makan hewan sama sekali atau bahkan ada yang tidak makan hewan dan makanan turunannya, seperti susu, telur dan keju. Jika makanan mereka mengandung daging sedikit saja, entah itu hanya kuah atau penyedapnya, itu sudah melanggar aturan.

Sementara aku dan keluargaku? Meskipun belum tentu setahun atau dua tahun sekali dan dalam jumlah yang sangat kecil, tetapi terkadang kami makan daging juga walaupun itu hanya kami batasi untuk daging kambing saja. Karena itulah aku enggan menyebut keluargaku sebagai vegetarian, meskipun beberapa teman menyebut kami demikian.

Jadi, sudah hampir enambelas tahun, menu hewani yang ada meja makanku adalah ayam, ikan dan telor. Sementara makanan nabati justru menjadi menu utama kami. Tentu saja ini juga berlaku untuk kedua anakku yang sekarang berusia 16 dan 10 tahun.

Bukan tidak pernah kami mendapat pertanyaan-pertanyaan ataupun olok-olokan dari teman dan kerabat tentang kebiasaan kami ini. Tetapi tentu saja kami tidak terlalu mempermasalahkannya. Selama ini kami masih bisa memakluminya.

Pertanyaan terakhir yang baru beberapa hari lalu terjadi, dilontarkan oleh teman anak gadisku. Mereka tidak bisa percaya jika pada kenyataannya keluarga kami tidak pernah mengonsumsi daging merah. Lalu pertanyaannya adalah, bagaimana anakku bisa pintar kalau dia tidak pernah makan daging?

Anak gadisku hanya tersenyum jika ada yang bertanya demikian. Karena aku sudah pernah menjelaskan padanya jika gizi yang ada di daging itu juga bisa kami dapatkan dari sumber makanan yang lain. Dan, yang paling mudah dipahami adalah ketika kami membaca sebuah buku yang menyebutkan bahwa ternyata ilmuwan sekelas Albert Einstein, Sacrotes dan Thomas Alfa Edison adalah para pelaku vegetarian juga. Jadi, bukan berarti anak vegetarian tidak bisa pandai, kan?