Selasa, 08 Maret 2016

Telepon Terakhir Ibu





            Tidak ada yang istimewa hari itu, tepat  sembilan tahun yang lalu, meskipun hari itu adalah hari ulang tahunku. Setelah meniup lilin kecil di atas kue ulang tahun yang sederhana, hanya ucapan syukur yang mampu keluar dari bibirku atas segala rahmatNya. Aku begitu bahagia dengan perhatian dari suami dan kedua anakku yang telah mempersiapkan acara tiup lilin malam itu. Memang, begitulah tradisi keluarga kecilku setiap ada yang berulang tahun. Meniup lilin dan saling mendoakan.

              Tetapi khusus buatku, ada kebiasaan lain yang selalu mewarnai hari ulang tahunku. Hadiah istimewa yang selalu kutunggu-tunggu, terlebih setelah aku berumah tangga. Hadiah itu adalah telepon dari ibuku. Aku selalu menunggu ibuku mengucapkan kata selamat ulang tahun lalu mendengarkan banyak doa-doa indah yang ditujukan untukku. Seperti layaknya anak kecil yang mendapat mainan baru, begitulah aku. Selalu berbunga-bunga setiap kali mendengar ucapan yang keluar dari bibir ibuku.

            Tepat sebelum aku mematikan lampu kamar untuk beranjak tidur, akhirnya aku mendengar telepon yang aku letakkan dekat telivisi itu berbunyi. Tanpa membuang waktu, aku langsung menyambarnya dan seperti yang sudah kuduga, itu adalah telepon dari ibu.

Bunga putih, seputih kasih  ibu


           “Selamat ulang tahun, ya, Mbak,” terdengar suara lembut ibuku diseberang telepon. Inilah yang selalu kunantikan, kado terindahku setiap tahun. Selalu dan selalu begitulah ucapan ibu. Ibuku selalu memanggilku ‘mbak’, meskipun aku anak bungsu di keluargaku. Gara-garanya sewaktu kecil aku pernah menangis hanya karena ingin dipanggil mbak seperti kakakku.

            “Semoga, Mbak, jadi wanita yang kuat. Dan, tolong jaga anak-anak, ya, cucu-cucu ibu,” aku terkesima mendengarnya. Ini adalah ucapan ibu yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Baik saat aku berulang tahun maupun pada saat telepon sehari-hari. Aku sangat terharu hingga tidak terasa pipiku sudah basah oleh butiran air mata.

            Lama kami berbincang di telepon. Selain melepas rindu, ibu juga memberiku sebuah kejutan yang lain. Ibu berjanji akan mengunjungiku dua minggu lagi. Kami memang tinggal berbeda kota dengan jarak kurang lebih 650 kilometer. Tetapi setiap enam bulan sekali kami akan saling mengunjungi. Jika bulan ini orang tuaku yang mengunjungiku, maka enam bulan berikutnya aku dan keluargaku yang akan menengoknya.

        Bulan depan memang jadwalnya ayah dan ibuku yang mengunjungi. Tetapi aku tidak menyangka kalau ibu akan memajukannya menjadi dua minggu lagi. Sebelum akhirnya ibu menutup telepon, kami sudah menyusun rencana apa saja yang nanti akan kami lakukan saat ibu datang. Memasak, berbelanja, jalan-jalan adalah kegiatan rutin kami saat bertemu. Tak sabar rasanya menunggu dua minggu lagi.

***


Kriiing…

            Aku bangun sambil melirik jam di dinding. Siapa malam-malam begini telepon, tanyaku dalam hati. Aku angkat telepon pelan-pelan dan mulai melemparkan kata sambutan di telepon seperti pada umumnya.

            “Siapa…?” teriakku lantang. Sampai-sampai suamiku yang dari tadi tidak terbangun oleh bunyi telepon, langsung beranjak dan menghambur ke arahku.

            “Bunda, ada apa?” tanya suamiku cemas. Aku sudah tidak bisa menjawabnya lagi. Suaraku sudah berubah menjadi isakan yang tak terkendali. Akhirnya suamiku mengambil alih gagang telepon dan meneruskan pembicaraan di telepon.

            Entah apa yang dibicarakan, aku sudah tidak dapat mendengarnya lagi. Aku menangis seperti anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya. Aku tidak dapat menerima berita yang baru saja aku dengar. Meskipun suamiku terus menenangkanku, tetapi aku sudah terlanjur tidak bisa berpikir jernih lagi. Aku marah, kecewa, menyesal dan tidak terima. Semalaman aku tidak bisa memejamkan mata walau hanya sebelah, begitu juga dengan air mataku seperti tidak pernah akan bisa kering.

            Keesokan harinya, dengan penerbangan pertama kami meninggalkan kotaku saat kabut putih belum tersentuh matahari. Badanku lemas karena semalam aku terus terjaga. Kepalaku juga terasa pening berputar-putar seperti gempa bumi. Sudah berkali-kali aku melakukan perjalanan pulang seperti ini, tetapi rasanya ini adalah perjalanan terlama yang pernah aku lalui.

            Aku tiba di rumah masa kecilku setelah orang-orang selesai melaksanakan ibadah shalat Jumat. Bergegas aku memasuki rumah dan disambut dengan dekapan erat dari ayah dan kedua kakakku.

          “Ibu dimana?” bisikku pelan seakan aku takut suaraku akan membangunkan ibuku. Ayahku lalu menuntunku masuk ke dalam rumah dan kulihat ibu ada di sana. Aku langsung bersimpuh disebelah ibu. Kulihat wajah ibu tersenyum sangat manis tanpa ada tanda-tanda kesakitan sedikitpun.

           “Ibu, aku sudah datang,” ucapku tetap lirih hampir tak terdengar bahkan oleh telingaku sendiri.
“Tapi kenapa harus sekarang, Bu? Bukankah tinggal seminggu lagi ibu berjanji akan menengok kami?” aku kecup kening ibu dengan penuh sayang.

         “Padahal, Bu, aku sudah minta ijin ke ayahnya anak-anak untuk meminjam mobilnya selama ibu di rumahku nanti. Aku akan ajak ibu jalan. Kita ke pasar, ya, Bu,” aku lempar senyumku ke ibuku.

           “Aku juga sudah belanja bahan-bahan kue yang akan kita praktekkan itu. Kan, Ibu sendiri yang bilang waktu aku ulang tahun, kalau ibu ingin membuatnya.” Kuusap lagi air mataku sambil membetulkan letak dudukku.

             “Tinggal seminggu lagi, Bu, dan kita bisa mewujudkan rencana-rencana kita yang lain seperti yang kita bahas di telepon waktu itu,” kukecup lagi ibu, aku merasa emosiku sedikit beriak.

             “Mengapa Ibu tidak menunggu sebentar saja lagi?” tangisku mulai tak terkendali. Sebenarnya aku berharap ada sedikit jawaban dari bibir ibu. Namun, sampai kedua kakakku memapahku masuk ke dalam kamar masa kecilku, ibu tetap tidak menjawab. Ibu tetap tersenyum dalam wajah pucatnya.

***

Hari Minggu tepat dua minggu setelah ulang tahunku.

            Hari itu adalah hari yang telah dijanjikan oleh ibu. Hari itu seharusnya ibu datang untuk menengokku. Dari pagi aku sudah siap. Anak-anak sudah mandi dan berganti dengan baju yang biasa dipakai untuk jalan-jalan. Meskipun agak heran, tetapi suamiku tetap pergi mandi juga seperti saranku. Biasanya hari Minggu seperti ini, suamiku paling malas untuk mandi pagi-pagi. Tidak sampai satu jam, dan semuanya sudah siap.

            “Bunda, ada apa sebenarnya? Mengapa kita harus berdandan rapi begini pagi-pagi, hari Minggu pula,” tanya suamiku akhirnya.

            “Kita mau jalan-jalan ke luar kota, ya, Bun?” tanya sulungku girang. Sementara aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.

            “Kalian lupa, ya? Kan, hari ini Eyang mau datang?” ucapku tenang.

         “Bunda…,” suara lembut suamiku menyentak otak bawah sadarku. Aku terpaku sambil berusaha mencerna keadaan. Suami dan kedua anakku begitu tegang menatapku. Sedetik kemudian aku baru tersadar seiring luapan air mataku. Aku menyebut asmaNya. Dengan cekatan suami dan kedua anakku langsung memelukku dan menenangkanku. Badanku berguncang, air mataku sudah tak dapat terbendung lagi.

            “Sudahlah, Bun. Ibu sudah tenang disana. Bunda harus ikhlas agar lapang jalan ibu menuju surga,” suara suamiku sayup-sayup masuk ke lubang telingaku dan menyadarkanku dengan kenyataan yang ada. Kenyataan kalau ibu sudah tidak akan pernah lagi menengok kami. Ibu tidak akan pernah datang lagi.



Oh, Bunda…
Ada dan tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatiku
                                                          (Melly Guslow)





8 komentar:

  1. hikss...., sungguh, terharu banget bacanya. jadi teringat waktu dengar kabar bapak tiada...
    kalau baca kisah tentang indahnya hubungan ibu dan anak perempuannya, saya pasti sedihhhh.. banget. karena sangat sedikit bahkan hampir tidak ada hal-hal yang bisa saya ingat untuk menerbitkan rasa rindu pada ibu....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kini saatnya mengukir kisah bersama anak-anak, Mbak. Agar banyak kenangan mereka nanti...

      Hapus
  2. Jadi ikut sedih mbak... Semoga ibu mendapatkan tempat terbaik di SisiNya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin. Maaf, ya, jadi buat sedih...

      Hapus
  3. Jadi ikut sedih mbak... Semoga ibu mendapatkan tempat terbaik di SisiNya..

    BalasHapus
  4. semoga ibu diterangkan dan dilapangkan kuburnya....

    BalasHapus
  5. hiks, jadi inget alm ibuku.

    Kadang suka ngerasa pengen dipeluk lagi apalagi kalu ada masalah

    BalasHapus