Museum Leffter |
Ini adalah hari kedelapan
keluargaku berlibur di Istanbul. Setelah kemarin seharian kami habiskan di
sebuah pulau yang bernama Prince Island atau Buyukada, maka hari ini kami
sepakat akan pergi mengunjungi sebuah tempat wisata yang berupa bukit kecil di pinggiran
kota Istanbul. Pukul delapan pagi , kami sudah bersiap-siap untuk sarapan di
sebelah lobi hotel. Kami sengaja mengenakan baju santai, celana jeans dan kaos,
untuk mengurangi rasa panas di perjalanan.
Suamiku hari ini khusus mengenakan
kaos yang kemarin dibelinya dari sebuah museum di pulau Buyukada. Museum ini
dibangun untuk menghormati seorang pemain sepak bola Turki yang banyak berjasa
terhadap tim nasional Turki, yang bernama LEFTER. Nama dan nomor punggung pemain (legendaris) tersebut tercetak
di bagian belakang kaos. Sementara foto diri Lefter dengan pakaian lengkap
sepak bolanya ada di bagian depan. Tentu saja juga ada beberapa kalimat yang
tertulis di atas gambar dalam bahasa Turki, “Cubuklu Bize Emanet” yang
sejujurnya kami juga tidak tahu artinya.
Inilah kaos Cubuklu itu |
Hari sangat cerah, setelah dua hari
pertama kedatangan kami di Istanbul terus turun hujan. Baru beberapa meter
berjalan keluar dari hotel, kami berpapasan dengan seseorang yang mengacungkan
jempol tangannya sambil berucap “Lefter”.
Kami hanya membalasnya dengan tersenyum dan menduga bahwa dia juga
mengenal pemain bola ini. Bukan hanya itu, sepanjang perjalanan kami menuju ke
tempat tujuan, beberapa kali mendengar orang menggumamkan nama Lefter atau
Cubuklu ketika berpapasan dengan kami. Atau orang-orang yang hanya sekedar menatap
dan tersenyum saat melihat kaos yang dikenakan suamiku.
Awalnya, dalam hati kami merasa
bangga karena suami mengenakan kaos yang bergambar orang yang terkenal di
Negara ini. Mungkin Lefter ini seperti Bambang Pamungkas kalau di Indonesia
yang hampir semua orang mengenalnya. Demikian pikirku melihat respon dari orang-orang yang melihat kaos tersebut. Hampir satu hari penuh kami merasakan
banyak diperhatikan oleh orang-orang berkat kaos ini. Namun kami mulai
ragu ketika sudah hampir senja kami
berada ditengah perjalan menuju hotel. Seorang tukang semir sepatu menyapa kami
dan mengatakan agar kami tidak melewati sebuah toko diujung jalan. Orang itu
tidak menjelaskan alasannya, tetapi dia bilang ada hubungannya dengan kaos yang
dipakai suamiku. Duh! Perasaanku mulai tidak enak. Tapi kami tetap melangkah
karena ini adalah satu-satunya jalan menuju hotel yang kami tahu.
"Berdialog" dengan (patung) Leffter |
Sesampai di sebuah taman dekat
hotel, anak kami melihat kedai burger dan langsung minta dibelikan. Setelah
mengantri, akhirnya tibalah giliran kami untuk memesan. Tapi aku merasa tidak
nyaman dengan penjual yang melayani kami, karena sikapnya yang sangat tidak
ramah. Setelah memberi uang, kami langsung berbalik sambil mencari anak kami
yang sudah mencari tempat duduk untuk menyantap burger. Namun baru selangkah
kami bergerak, penjual burger itu memanggil suamiku dan spontan kami berbalik.
Belum sempat kami bertanya, si pedagang sudah lebih dulu berkata dengan nada
tinggi.
“ Dimana kamu
membeli kaos itu?” tanyanya.
“Di museum di
Buyukada,” jawab suamiku ringan.
“Lalu, kamu tahu
tidak arti tulisan itu?” kali ini suamiku hanya angkat tangan saja.
“Kalau tidak
tahu, kenapa kamu memakainya?” suaranya sudah benar–benar tidak bersahabat
lagi.
Kami hanya bilang maaf lalu cepat-cepat kabur dari situ karena situasi sudah
tidak aman, pikirku. Apalagi kami merasa ada seseorang yang terus mengikuti langkah
kami sejak meninggalkan kedai burger tersebut. Suamiku sudah menaikkan tas
punggungnya untuk menutupi tulisan Lefter, sementara tulisan yang didepan
ditutupinya dengan tas kamera. Anak kami yang semula ingin makan burger di
taman, langsung aku tarik untuk cepat-cepat pergi dari situ. Beberapa pasang
mata dari pengunjung taman juga sudah mulai mengawasi kami. Pasti ada yang
tidak beres, tapi kami tidak tahu apa itu.
Orang asing yang semula mengikuti
kami, akhirnya bisa juga mengejar dan jalan disebelah suamiku. Jantungku
semakin dag dig dug! Rupanya dia melihat kepanikan dan ketakutanku hingga
akhirnya memberiku senyuman. Sambil berjalan dia menjelaskan ketidakberesan
yang kami rasakan. Menurut penjelasannya, di Istanbul terdapat dua klub sepak
bola yang merupakan musuh bebuyutan. Salah satu
club itu adalah “Cubuklu”. Ya Tuhan! Bukankah itu tulisan yang ada di
kaos suamiku? Kalau tadi siang kami
merasa banyak yang tersenyum kepada kami, itu tidak lain karena tempat wisata
yang kami kunjungi tadi adalah merupakan daerah pendukung Cubuklu. Sementara
disini? Disinilah markas seterunya. Gawat!
Tanpa pikir panjang lagi, kami
langsung mengambil langkah seribu meninggalkan taman setelah mengucapkan terima
kasih kepada orang baik tersebut ( mungkin dia juga pendukung Cubuklu ). Kami terus
berdoa semoga tidak bertemu lagi dengan pendukung lawan Cubuklu. Baru setelah
sampai di kamar hotel kami bisa bernafas lega dan saling melepaskan tawa,
apalagi ketika melihat suami membuka kaos dan melemparnya ke pojok kamar. Ha….ha….ha…..kami jadi ingat tingkah polah
pendukung sepak bola di tanah air terutama ketika kami masih tinggal di
Surabaya dulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar