Tidak
ada yang istimewa hari itu, tepat sembilan tahun yang lalu, meskipun hari itu adalah hari ulang tahunku.
Setelah meniup lilin kecil di atas kue ulang tahun yang sederhana, hanya ucapan
syukur yang mampu keluar dari bibirku atas segala rahmatNya. Aku begitu bahagia
dengan perhatian dari suami dan kedua anakku yang telah mempersiapkan acara
tiup lilin malam itu. Memang, begitulah tradisi keluarga kecilku setiap ada
yang berulang tahun. Meniup lilin dan saling mendoakan.
Tetapi khusus buatku, ada
kebiasaan lain yang selalu mewarnai hari ulang tahunku. Hadiah istimewa yang
selalu kutunggu-tunggu, terlebih setelah aku berumah tangga. Hadiah itu adalah
telepon dari ibuku. Aku selalu menunggu ibuku mengucapkan kata selamat ulang
tahun lalu mendengarkan banyak doa-doa indah yang ditujukan untukku. Seperti
layaknya anak kecil yang mendapat mainan baru, begitulah aku. Selalu
berbunga-bunga setiap kali mendengar ucapan yang keluar dari bibir ibuku.
Tepat
sebelum aku mematikan lampu kamar untuk beranjak tidur, akhirnya aku mendengar
telepon yang aku letakkan dekat telivisi itu berbunyi. Tanpa membuang waktu,
aku langsung menyambarnya dan seperti yang sudah kuduga, itu adalah telepon
dari ibu.
|
Bunga putih, seputih kasih ibu |
“Selamat ulang tahun, ya, Mbak,”
terdengar suara lembut ibuku diseberang telepon. Inilah yang selalu kunantikan,
kado terindahku setiap tahun. Selalu dan selalu begitulah ucapan ibu. Ibuku selalu
memanggilku ‘mbak’, meskipun aku anak bungsu di keluargaku. Gara-garanya
sewaktu kecil aku pernah menangis hanya karena ingin dipanggil mbak seperti
kakakku.
“Semoga,
Mbak, jadi wanita yang kuat. Dan, tolong jaga anak-anak, ya, cucu-cucu ibu,”
aku terkesima mendengarnya. Ini adalah ucapan ibu yang belum pernah aku dengar
sebelumnya. Baik saat aku berulang tahun maupun pada saat telepon sehari-hari.
Aku sangat terharu hingga tidak terasa pipiku sudah basah oleh butiran air
mata.
Lama
kami berbincang di telepon. Selain melepas rindu, ibu juga memberiku sebuah
kejutan yang lain. Ibu berjanji akan mengunjungiku dua minggu lagi. Kami memang
tinggal berbeda kota dengan jarak kurang lebih 650 kilometer. Tetapi setiap
enam bulan sekali kami akan saling mengunjungi. Jika bulan ini orang tuaku yang
mengunjungiku, maka enam bulan berikutnya aku dan keluargaku yang akan
menengoknya.
Bulan
depan memang jadwalnya ayah dan ibuku yang mengunjungi. Tetapi aku tidak
menyangka kalau ibu akan memajukannya menjadi dua minggu lagi. Sebelum akhirnya
ibu menutup telepon, kami sudah menyusun rencana apa saja yang nanti akan kami
lakukan saat ibu datang. Memasak, berbelanja, jalan-jalan adalah kegiatan rutin
kami saat bertemu. Tak sabar rasanya menunggu dua minggu lagi.
***
Kriiing…
Aku
bangun sambil melirik jam di dinding. Siapa malam-malam begini telepon, tanyaku
dalam hati. Aku angkat telepon pelan-pelan dan mulai melemparkan kata sambutan
di telepon seperti pada umumnya.
“Siapa…?”
teriakku lantang. Sampai-sampai suamiku yang dari tadi tidak terbangun oleh
bunyi telepon, langsung beranjak dan menghambur ke arahku.
“Bunda,
ada apa?” tanya suamiku cemas. Aku sudah tidak bisa menjawabnya lagi. Suaraku
sudah berubah menjadi isakan yang tak terkendali. Akhirnya suamiku mengambil
alih gagang telepon dan meneruskan pembicaraan di telepon.
Entah
apa yang dibicarakan, aku sudah tidak dapat mendengarnya lagi. Aku menangis
seperti anak kecil yang kehilangan mainan kesayangannya. Aku tidak dapat
menerima berita yang baru saja aku dengar. Meskipun suamiku terus
menenangkanku, tetapi aku sudah terlanjur tidak bisa berpikir jernih lagi. Aku
marah, kecewa, menyesal dan tidak terima. Semalaman aku tidak bisa memejamkan
mata walau hanya sebelah, begitu juga dengan air mataku seperti tidak pernah
akan bisa kering.
Keesokan
harinya, dengan penerbangan pertama kami meninggalkan kotaku saat kabut putih belum tersentuh matahari. Badanku lemas karena semalam aku terus terjaga.
Kepalaku juga terasa pening berputar-putar seperti gempa bumi. Sudah berkali-kali aku melakukan perjalanan pulang seperti ini, tetapi rasanya ini
adalah perjalanan terlama yang pernah aku lalui.
Aku
tiba di rumah masa kecilku setelah orang-orang selesai melaksanakan ibadah
shalat Jumat. Bergegas aku memasuki rumah dan disambut dengan dekapan erat dari
ayah dan kedua kakakku.
“Ibu dimana?” bisikku pelan
seakan aku takut suaraku akan membangunkan ibuku. Ayahku lalu menuntunku masuk
ke dalam rumah dan kulihat ibu ada di sana. Aku langsung bersimpuh disebelah
ibu. Kulihat wajah ibu tersenyum sangat manis tanpa ada tanda-tanda kesakitan
sedikitpun.
“Ibu, aku sudah datang,” ucapku
tetap lirih hampir tak terdengar bahkan oleh telingaku sendiri.
“Tapi kenapa harus sekarang, Bu?
Bukankah tinggal seminggu lagi ibu berjanji akan menengok kami?” aku kecup
kening ibu dengan penuh sayang.
“Padahal, Bu, aku sudah minta
ijin ke ayahnya anak-anak untuk meminjam mobilnya selama ibu di rumahku nanti.
Aku akan ajak ibu jalan. Kita ke pasar, ya, Bu,” aku lempar senyumku ke ibuku.
“Aku juga sudah belanja
bahan-bahan kue yang akan kita praktekkan itu. Kan, Ibu sendiri yang bilang
waktu aku ulang tahun, kalau ibu ingin membuatnya.” Kuusap lagi air mataku
sambil membetulkan letak dudukku.
“Tinggal seminggu lagi, Bu, dan
kita bisa mewujudkan rencana-rencana kita yang lain seperti yang kita bahas di
telepon waktu itu,” kukecup lagi ibu, aku merasa emosiku sedikit beriak.
“Mengapa Ibu tidak menunggu sebentar saja lagi?” tangisku mulai tak terkendali. Sebenarnya aku berharap ada
sedikit jawaban dari bibir ibu. Namun, sampai kedua kakakku memapahku masuk ke
dalam kamar masa kecilku, ibu tetap tidak menjawab. Ibu tetap tersenyum dalam
wajah pucatnya.
***
Hari Minggu tepat dua minggu
setelah ulang tahunku.
Hari
itu adalah hari yang telah dijanjikan oleh ibu. Hari itu seharusnya ibu datang
untuk menengokku. Dari pagi aku sudah siap. Anak-anak sudah mandi dan berganti
dengan baju yang biasa dipakai untuk jalan-jalan. Meskipun agak heran, tetapi
suamiku tetap pergi mandi juga seperti saranku. Biasanya hari Minggu seperti
ini, suamiku paling malas untuk mandi pagi-pagi. Tidak sampai satu jam, dan
semuanya sudah siap.
“Bunda,
ada apa sebenarnya? Mengapa kita harus berdandan rapi begini pagi-pagi, hari
Minggu pula,” tanya suamiku akhirnya.
“Kita
mau jalan-jalan ke luar kota, ya, Bun?” tanya sulungku girang. Sementara aku
hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
“Kalian
lupa, ya? Kan, hari ini Eyang mau datang?” ucapku tenang.
“Bunda…,”
suara lembut suamiku menyentak otak bawah sadarku. Aku terpaku sambil berusaha
mencerna keadaan. Suami dan kedua anakku begitu tegang menatapku. Sedetik
kemudian aku baru tersadar seiring luapan air mataku. Aku menyebut asmaNya.
Dengan cekatan suami dan kedua anakku langsung memelukku dan menenangkanku.
Badanku berguncang, air mataku sudah tak dapat terbendung lagi.
“Sudahlah,
Bun. Ibu sudah tenang disana. Bunda harus ikhlas agar lapang jalan ibu menuju
surga,” suara suamiku sayup-sayup masuk ke lubang telingaku dan menyadarkanku
dengan kenyataan yang ada. Kenyataan kalau ibu sudah tidak akan pernah lagi
menengok kami. Ibu tidak akan pernah datang lagi.
Oh, Bunda…
Ada dan tiada dirimu kan selalu
ada di dalam hatiku
(Melly Guslow)